Warga Tolak Sistem Pembayaran Nontunai Secara Penuh

Selasa, 23 Desember 2025 | 11:30:26 WIB
Warga Tolak Sistem Pembayaran Nontunai Secara Penuh

JAKARTA - Kebijakan beberapa gerai makanan dan minuman yang hanya menerima pembayaran nontunai memicu reaksi beragam di masyarakat. Fenomena ini kembali menjadi sorotan publik setelah viralnya kasus Roti O, yang menolak transaksi tunai sepenuhnya. 

Meski pembayaran digital dianggap lebih efisien, penolakan sistem tunai menimbulkan ketidaknyamanan bagi konsumen, terutama kelompok yang belum familiar atau memiliki akses terbatas terhadap teknologi digital.

Berdasarkan penelusuran detikcom di pusat perbelanjaan Jakarta Selatan, sejumlah gerai makanan dan minuman menerapkan kebijakan pembayaran nontunai sepenuhnya. Uang tunai, meski jumlahnya pas, tetap tidak diterima. Kondisi ini menimbulkan perdebatan publik terkait keseimbangan antara efisiensi transaksi digital dan inklusivitas bagi seluruh konsumen.

Manfaat dan Tantangan Pembayaran Digital

Sistem pembayaran digital, seperti QRIS, dianggap praktis dan aman oleh sebagian masyarakat. Radot, seorang konsumen, menilai metode ini memberi kenyamanan karena konsumen tidak perlu membawa uang tunai saat berbelanja. 

“Mau nggak mau harus menyesuaikan, karena kan nggak bisa dipaksakan juga, yang HP-nya nggak memadai QRIS biar bisa. Jadi, sebaiknya ada pembayaran cash. Apalagi kalau sinyal kurang, kemungkinan agak lambat prosesnya, terus kadang-kadang bisa gagal juga kan,” ujarnya.

Namun, manfaat tersebut belum merata dinikmati semua kalangan. Banyak konsumen masih menghadapi kendala akses internet, perangkat yang memadai, atau pemahaman terkait transaksi digital. Hal ini membuat sebagian masyarakat menilai bahwa penerapan nontunai sepenuhnya belum sepenuhnya tepat untuk diterapkan di semua gerai.

Kebutuhan Fleksibilitas untuk Konsumen

Rudi, seorang konsumen, menekankan pentingnya fleksibilitas dalam sistem pembayaran. Menurutnya, pengusaha dapat tetap memanfaatkan QRIS untuk alasan keamanan dan efisiensi, tetapi opsi pembayaran tunai sebaiknya tidak dihapuskan. “Harusnya fleksibel lah, dia pake cash boleh, QRIS juga boleh. QRIS kan menurut saya itu kan mengurangi ada uang yang hilang dan lain-lain,” katanya.

Pria berusia 61 tahun ini mengingatkan bahwa QRIS memang diakui secara global, tetapi tidak semua kalangan familiar dengan sistem tersebut. Kasus viral yang menimpa seorang ibu di Roti O menjadi contoh bahwa keterbatasan akses digital masih nyata di masyarakat. 

“QRIS bagus orang dunia aja mengakui, cuman fleksibel lah. Oh, cash nggak bisa, itu nggak bisa. Jangan lagi seperti itu,” tambahnya.

Bunga, konsumen muda berusia 25 tahun, juga menekankan bahwa literasi digital masyarakat masih bervariasi. Menurutnya, meski QRIS memudahkan transaksi, masih ada kesenjangan akses yang membuat pembayaran digital tidak bisa sepenuhnya menggantikan uang tunai. 

Ia menegaskan bahwa uang tunai tetap merupakan alat pembayaran sah di Indonesia, sehingga pengusaha sebaiknya menyediakan opsi tunai untuk melayani seluruh konsumen.

Keseimbangan Antara Efisiensi dan Inklusivitas

Fenomena penolakan transaksi tunai di gerai-gerai tertentu mencerminkan tantangan transformasi digital di sektor ritel. Di satu sisi, pembayaran digital menawarkan kecepatan, keamanan, dan efisiensi. Di sisi lain, masih terdapat kelompok masyarakat yang belum bisa memanfaatkan teknologi tersebut secara optimal.

Pengusaha dihadapkan pada kebutuhan untuk menyeimbangkan efisiensi operasional dengan inklusivitas layanan. Penerapan sistem pembayaran digital sepenuhnya memang meminimalkan risiko kehilangan uang tunai dan mempercepat transaksi, tetapi tanpa opsi tunai, sebagian konsumen bisa terpinggirkan. Hal ini juga berpotensi memengaruhi citra gerai dan kepuasan pelanggan.

Beberapa konsumen menilai bahwa integrasi kedua sistem tunai dan digital merupakan solusi paling tepat. Dengan demikian, konsumen memiliki alternatif jika perangkat digital atau koneksi internet bermasalah, dan pengusaha tetap bisa memanfaatkan kemudahan transaksi digital. 

Pendekatan ini memungkinkan layanan yang inklusif sekaligus modern, tanpa mengesampingkan kelompok masyarakat yang belum terbiasa dengan pembayaran digital. Kasus Roti O dan gerai lain yang menolak transaksi tunai sepenuhnya menjadi pengingat bahwa transformasi digital harus mempertimbangkan keberagaman kemampuan konsumen.

 Penerapan sistem nontunai memang mengadopsi teknologi canggih dan efisien, tetapi kesadaran akan inklusivitas tetap menjadi faktor penting agar seluruh konsumen dapat terlayani.

Dengan pendekatan fleksibel, konsumen tetap bisa menikmati keamanan dan efisiensi pembayaran digital, sementara yang belum terbiasa atau tidak memiliki akses teknologi tetap dapat bertransaksi menggunakan uang tunai. Hal ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi pengusaha untuk menyesuaikan strategi layanan dan menjaga kepuasan pelanggan di era digitalisasi.

Terkini

Cara Mengatasi Jari Tangan Kaku dan Nyeri Saat Ditekuk

Selasa, 23 Desember 2025 | 12:53:12 WIB

Rutinitas Pagi yang Berpotensi Menyebabkan Serangan Jantung

Selasa, 23 Desember 2025 | 12:53:11 WIB

Alasan Penting Jangan Minum Kopi Langsung Setelah Bangun

Selasa, 23 Desember 2025 | 12:53:10 WIB

Mengapa Tubuh Tiba-Tiba Menginginkan Makanan Pedas Seketika?

Selasa, 23 Desember 2025 | 12:53:09 WIB

Harga Sembako Jatim Hari Ini Selasa 23 Desember 2025 Turun

Selasa, 23 Desember 2025 | 12:53:07 WIB